Minggu, 12 Desember 2010

stress itu perluuuuu

kaui tahu...........


sepertinya saya kehilangan faktor pemicu strssssssssssss

BESOK SAYA UJIAN
dan kok sayasantai sekaLIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

Rabu, 08 Desember 2010

Ya Allah,,,,,jangan kau pecah belah kami.........

http://mujahidsamurai.multiply.com/journal/item/124



NeoKhawarij Menuduh Sesat Ikhwanul Muslimin dan Tokoh-Tokohnya (serta jawaban atas tuduhan mereka)Feb 12, '09 5:33 AM
for everyone
Apa yang teman-teman rasakan ketika ada seseorang yang sangat teman-teman hormati dan bahkan menjadi panutan lantas dituduh yang macam-macam oleh sekelompok orang? Sedih, kecewa, kesal, marah, perasaan seperti itulah mungkin yang akan dirasakan.

Begitu juga dengan saya. Sedih rasanya ketika ada salah seorang motivator dalam hidup saya dihujat sedemikian rupa. Terlebih lagi sampai ada sekelompok manhaj dakwah tertentu yang mengklasifikasikan beliau sampai pada level sesat, bahkan kafir! Begitulah yang dialami Imam asy-syahid Hasan al-Banna sekarang sepeninggal beliau.

Serentetan tuduhan dan fitnah tidak berdasar dialamatkan kepada beliau. Tentu bukanlah sikap seorang muslim yang baik jika sampai seseorang atau sekelompok orang mengatai saudara sesamanya dengan sebutan kafir tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana mungkin sekelompok orang dari manhaj dakwah tersebut bisa menyebut diri mereka sebagai 'khairu ummah' (sebaik-baiknya ummat), sementara di lain pihak menyesatkan muslim lain yang mereka anggap tidak sejalan dengan manhaj dakwah mereka. Bersikap berlebih-lebihan dengan harokahnya, sehingga cenderung menganggap remeh muslim yang lain. Seolah-olah hanya kelompok merekalah yang paling hanif Islamnya. Sikap mereka tidak lain persis seperti orang-orang Khawarij pada masa Rasulullah dahulu.

Fenomena sikap Khawarij banyak terjadi sekarang dan biasa disebut Neokhawarijisme bahkan bisa jadi dekat dengan kita, apalagi hal itu telah diprediksi oleh Rasulullah saw. Ibnu Abbas ketika mengadakan dialog dengan mereka menyebutkan beberapa ciri‑ciri di antaranya: Mereka sangat wara’, pakaiannya sangat sederhana, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidatnya hitam, telapak tangan dan kakinya kapalan, dan meraka disebut qura’ yaitu orang yang bagus bacaannya dan lama bila membaca Al-Qur’an.

Simaklah Hadits-Hadits berikut yang menggambarkan sifat orang-orang Khawarij berikut:
Dari Abi Said Al‑Khudry berkata, Tatkala kami bersama Rasulullah saw. dan beliau sedang membagikan ghanimah, datang Dzul Khuwaishirah salah seorang dari Bani Tamim dan berkata, “Wahai Rasulullah berbuat adillah!” Berkata Rasulullah saw., “Celaka! Siapa yang akan berbuat adil jika saya tidak berbuat adil? Niscaya saya celaka dan binasa jika saya tidak adil.” Berkata Umar bin Khattab, “Wahai Rasulullah! Ijinkan saya memenggal lehernya.” Berkata Rasulullah saw., “Biarkanlah dia. Sesunggulinya dia mempunyai banyak teman, dirnana dianggap remeh shalat di antara kalian dibanding shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka, mereka membaca Al‑Qur’an tidak sampai kecuali pada tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Pada hari Hunain Rasulullah saw. mengutamakan sebagian manusia dalam pembagian ghanimah. Beliau memberi Al‑Aqra bin Habis Al‑Handhaly 100 unta, memberi Uyainah bin Badrul Fijary dengan jumlah yang serupa dan memberi para pembesar Arab, beliau mengutamakan mereka dalam pembagian. Maka berkata salah seorang, “Demi Allah, pembagian ini tidak adil dan tidak bertujuan untuk mencari ridha Allah!” (HR. Muslim).

Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir.

Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang‑orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub.

Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Semua ituMereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang‑orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa‑apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka.

Bukanlah sikap yang bijaksana jika kita menanggapi tuduhan-tuduhan mereka terhadap Imam Hasan al-Banna dan gerakan Ikhwanul Muslimin yang dibentuknya dengan sikap yang sama buruknya. Tuduhan macam ini hanya dapat kita jawab dengan memberikan pemahaman terhadap kekeliruan yang telah mereka anggap selama ini.

Untuk menjawab segala tuduhan yang disampaikan kepada Ikhwanul Muslimin dan para tokohnya, sebenarnya ada dalam sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Jasim Muhalhil yang berjudul "Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan. Saya akan mengutip beberapa poin yang ada pada buku tersebut untuk menjawab tuduhan para pemfitnah itu terhadap Imam al-Banna.

Hasan al-Banna dituduh bersikap tafwidh (menyerahkan) terhadap makna ayat-ayat sifat dan asma Allah.
Sesungguhnya lafadz "tafwidh" yang dimaksud oleh Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah adalah tafwidh terhadap kaifiyah (cara). Sebagaimana perkataan Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang kaifiyah istiwa'. Imam malik mengatakan, "Istiwa itu ma'lum (diketahui), kaifiyah itu majhul (tidak diketahui)." Artinya kita kembalikan pemahaman kaifiyah istiwa itu kepada Allah swt. yang lebih mengetahui tentang kaifiyah yang layak bagi-Nya.
Yang lebih mengukuhkan bahwa yang dimaksud Hasan al-Banna adalah tafwidh dalam hal kaifiyah adalah bahwa beliau merincikan penjelasan tentang asma dan shifat dalam kitabnya.
Kalaulah yang dimaksud adalah tafwidh dari sisi makna, niscaya al-Banna tidak berbicara rinci tentang hal tersebut dalam risalah al-‘Aqa'id.
Tuduhan selain itu adalah seputar perkataan Hasan al-Banna yang menjadikan ayat-ayat asma' wa shifat dalam kelompok ayat-ayat Mutasyabih (penyerupaan makna sehingga tidak ada kejelasan).
Perkataan tersebut adalah, "Dan ma'rifatullah -tabaraka wa ta’ala-, mentauhidkan dan mensucikan-Nya merupakan unsur aqidah Islam yang paling tinggi. Ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih serta yang terkait dengannya dari masalah-masalah yang mutasyabih, kami mengimaninya sebagaimana adanya tanpa ta'wil (tatsir yang jauh dari eks) dan ta’thil (peniadaan) dan kami tidak ingin tenggelam dalam perselisihan antara ulama dalam masalah ini.
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, "Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami..." (QS. Ali Imran: 7)
Lafadz mutasyabih dalam ungkapan al-Banna di atas adalah dalam kaifiyah penyifatan, bukan bahwa asma wa sifat itu mutasyabih. Ini jelas tersimpul bila kita meneliti tulisan-tulisan Imam al-Banna rahimahullah.
Pemakaian kata mutasyabih sendiri sebenarnya boleh digunakan terhadap kaifiyah. Berkata Syaikh Muhammad Amin Syanqity, “Dan ketahuilah bahwa banyak di antara manusia menyebut dengan mutasyabih. Dari satu sisi hal ini adalah keliru. Namun dari sisi lain, sebutan itu bisa diperbolehkan sebagaimana yang diucapkan Malik bin Anas, “Istiwa itu diketahui, kaifiyahnya tidak diketahui, menanyakannya bid'ah dan mengimaninya wajib.”
Ungkapan bahwa istiwa yang diketahui, menunjukkan bahwa artinya tidak mutasyabih, bahkan dikenal oleh orang-orang Arab. Dan ungkapan bahwa kaifiyah itu tidak diketahui, menunjukkan kelemahan manusia untuk mengetahuinya. Sedangkan suatu perkara yang hanya diketahui Allah dinamakan mutasyabih, berdasarkan firman Allah swt., “Dan tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah.” (QS. Ali Imran:7)
Artinya dari sisi makna bukan mutasyabih, tapi dari sisi kaifiyah penyifatan adalah mutasyabih. Sebab, sebagaimana disebutkan, yang dimaksud mutasyabih adalah sesuatu masalah yang hanya diketahui oleh Allah swt. saja.
Kemudian tentang perkataan al-Banna yang tidak mau tenggelam pada pembahasan tema-tema aqidah yang diperselisihkan di dalamnya, serta menghindari benturan dengan para ulama yang memperselisihkannya, sikap ini dilandasi cara penanaman aqidah sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw.
Yakni, membangun aqidah dengan realitas sikap yang hidup dan bergerak, jauh dari metode filsafat dan melebur bersama ruh keimanan yang suci.
Imam al-Banna menerangkan masalah iman dan aqidah sesuai manhaj yang shahih. la menyebutkan sikap apa yang harus ada pada diri seorang muslim dalam aqidahnya sehingga ia menjadi seorang muslim sejati.
Rasulullah saw. berkata kepada seorang budak wanita, "Di mana Allah?" Wanita itu menjawab, "Di langit." Rasul bersabda, “Bebaskan wanita ini, sesungguhnya ia telah beriman."
Ungkapan Hasan al-Banna sama sekali tidak mengandung penyimpangan dan kesesatan filsafat. Bahkan inilah manhaj tarbiyah yang dilakukan Rasulullah kepada para sahabatnya.
Kami tidak memandang hal ini berarti tenggelam dalam masalah-masalah ilmu kalam di mana orang-orang Yunani dahulu unggul dalam perkara ini. Apakah manhaj seperti ini menjadi celah penyebaran pemikiran yang berlawanan dalam aqidah di kalangan para sahabat? Kami mohon ampun dan bertaubat kepada Allah.
Selanjutnya., tentang perhatian beliau terhadap aqidah shahih, jauh dari musyrik dan bid'ah, telah diterangkan dimuka.
Sayyid Quthb Dituduh Berpaham Mu'tazilah
Sebagian orang menuduh pemikiran Sayyid Quthb rahimahullah sejalan dengan pemikiran mu'tazilah, karena menolak peristiwa ru'yah (melihat Allah).
Konon ini berasal dari tulisan beliau dalam kitab Fi Dzilalil Qur'an saat membahas firman Allah, “Bagi orang-orang yang berbuat baik mendapatkan kebaikan dan ziyadah.” (QS. Yunus:26).
Sayyid Quthb menyebutkan bahwa makna ziyadah dalam ayat ini adalah ni'mat Allah yang tidak terbatas.
Karena ungkapan tersebut, beliau dituduh mu'tazilah. Allah lah tempat berlindung. Mereka tidak mengetahui bahwa Ibnu Katsir rahimahullah dalam tatsirnya juga mengatakan yang dimaksud
dengan ziyadah adalah pelipatgandaan pahala amal kebaikan, dan meliputi seluruh ni'mat yang Allah berikan kepada mereka di surga. Termasuk istana, bidadari, dan keridhaan Allah atas mereka.
Lebih dari itu adalah melihat Allah swt. Itulah ziyadah yang paling mulia dari semua yang Allah berikan kepada mereka yang tidak dapat diperoleh hanya melalui amal seseorang saja, akan tetapi karena fadhilah serta rahmat dari Allah swt.
lbnu Katsir kemudian menyertakan hadits-hadits sebagai dalil. Dalam hal ini kita dapatkan Ibnu Katsir mengungkapkan sesuatu yang umum ('aam) dan rinci (mufashshal).
Sedangkan Sayyid Quthb memberi komentar secara 'aam dengan menjelaskan bahwa ziyadah dalam ayat tersebut maknanya tidak terbatas. Sedangkan penjelasan rincinya, beliau sebutkan di lembaran lain dalam kitabnya.
Pandangan Sayyid Quthb rahimahullah jelas tidak sejalan dengan pendapat Mu’tazilah. Saat membahas firman Allah swt., "Pada hari itu, terdapat wajah-wajah yang bersinar, melihat Tuhannya." (QS. al-Qiyamah:22-23).
Sayyid Quthb mengatakan, "Bagaimana dengan hal ini. Wajah-wajah itu tidak lagi melihat indahnya ciptaan Allah swt., akan tetapi langsung pada keindahan Dzat Allah swt."
Selanjutnya beliau mengatakan, “Hendaknya kita dapat merasakan bagaimana luapan kebahagiaan dan kegembiraan qudus yang lahir hanya melalui penggambaran kita terhadap hakikat keadaan pada saat itu, sebatas kemampuan kita. Dan hendaknya ruh kita pun dapat merasakan bagaimana luapan kegembiraan itu.
Dapat merasakan hal ini saja merupakan suatu ni'mat yang sungguh besar dan tak ada duanya selain ni'mat melihat WajhuLlah Yang Mulia."
Esensi perbedaan antara pendapat Sayyid Quthb dengan Mu’tazilah juga jelas sekali melalui ungkapan Sayyid Quthb atas pendapat az-Zamakhsyari -tokoh kelompok Mu’tazilah- dalam pembahasan tafsir firman Allah swt.: "(Hai api), jadilah dingin dan menyelamatkan atas Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya: 69)
Bagi yang ingin mengetahui lebih detail tentang masalah ini, silahkan merujuk langsung pada kitab Dzilal ketika pembahasan ayat di atas. Selain itu, dapat juga mengkaji tulisan Sayyid Quthb dalam kitab Khashaish Tashawwur.
Sayyid Quthb Dituduh Berfaham Asy'ariyah
Pembahasan masalah ini akan kami paparkan setelah menyebutkan beberapa statemen berikut:
Pertama, bahwa Asy'ariyah adalah kelompok yang paling dekat pendapatnya dengan ahlu sunnah wal jama'ah dalam memandang masalah asma dan sifat.
Kedua, bahwa mayoritas fuqaha setelah imam madzhab yang empat, kebanyakan sejalan pemikirannya dengan pemikiran Asy'ariyah. Hal ini kembali pada penyebaran madzhab Asy'ariyah
serta penjelasan para syuyukh kepada murid-murid mereka.
Sebagaimana dalam banyak kurikulum sekolah-sekolah agama dewasa ini pun menggunakan pendekatan sama.
Ketiga, bahwa bagaimana pun seorang alim yang melakukan kesalahan adalah hal yang wajar dan manusiawi. Mungkin saja, ia kemudian sadar akan kesalahannya, melepas diri dari apa
yang pernah ia tulis dan ia sebutkan dalam masalah tersebut. Ini dapat terjadi, bila usia sang alim itu mengizinkan.
Keempat, sesungguhnya kesalahan yang dilakukan sebagian ulama yang aktif dan giat berjihad tetap dianggap sebagai kesalahan. Meskipun begitu, kesalahan tersebut tidaklah disebut-sebut secara berlebihan dengan menghapus jerih payah yang dilakukannya dalam mencapai kebenaran, namun temyata ia gagal dan hanya sampai pada pendapatnya itu.
Kelima, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, bahwa hukum ta'wil itu terbagi tiga:
1. Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Sehingga bila telah jelas yang haq di dalamnya, yang bersangkutan kembali pada yang haq. Kelompok ini dimaafkan karena bagaimanapun demikianlah akhir usaha yang dapat ia lakukan. Allah swt. berfirman, “Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.”
2. Dilakukan melalui landasan hawa nafsu dan ta'asshub. Ta'wil yang dihasilkan memiliki argumentasi dari sudut bahasa Arab. Yang melakukan hal ini dihukumi sebagai fasiq, dan tidak kufur. Kecuali bila pendapatnya mengandung pengurangan atau aib atas Allah swt. hal tersebut bisa menjadikannya kufur.
3. Dilakukan melalui landasan hawa nafsu dan ta'asshub, dan ta'wilnya tidak memiliki argumentasi secara bahasa Arab. Kelompok ini dihukumi kufur karena pada hakikatnya merupakan kedustaan yang sama sekali tak mempunyai landasan.
Keenam, bahwa perjalanan hidup Sayyid Quthb rahimahullah, sejak beliau terlibat dalam harakah dan amal jihad selalu diliputi mihnah (ujian). Hingga akhirnya beliau dengan keberaniannya, mengatakan kalimat yang haq di hadapan penguasa zalim kemudian beliau mati syahid.
Statemen di atas, merupakan kaidah yang harus kita pahami saat membicarakan atau melontarkan kritik atas pemikiran Sayyid Quthb rahimahullah.
Untuk lebih menyempurnakan masalah ini, kami akan menyebutkan dua perkataan Sayyid Quthb yang sering dipermasalahkan terkait dengan sikapnya terhadap ta’wil.
Contoh pertama: Tafsir Sayyid Quthb tentang firman Allah swt. Surat al-Baqarah ayat 29:
"Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dinadikan-Nya, Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Baqarah: 29)
Sayyid Quthb mengatakan, "Tidak pada tempatnya untuk mendalami arti istiwa, kecuali kata tersebut merupakan simbol kekuasaan dan iradah atau kemampuan Allah dalam Mencipta dan Membentuk."
Kalimat inilah yang disebutkan Sayyid Quthb rahimahullah. Demikian pula sikap Ibnu Katsir rahimahullalah dalam menafsirkan firman Allah., “Dialah Yang Menciptakan apa-apa yang ada di bumi seluruhnya untuk kalian, kemudian istiwa ke langit.”
Ibnu Katsir menyebutkan, arti istiwa adalah naik ke langit. Dan istiwa di sini mengandung arti maksud dan tujuan.
Contoh kedua: Tafsir Sayyid Quthb terhadap firman Allah swt. surat al-A'raf ayat 54:
“Sesungguhnya Tuhan kalian yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian istiwa di atas ‘Arasy.” (QS. al-Alraf: 54)
Sayyid Quthb mengatakan, "Sesungguhnya aqidah tauhid Islam tidak meninggalkan celah apapun bagi persepsi manusiawi tentang dzat Allah swt. Juga tidak meninggalkan pendapat tentang penggambaran bagaimana kaifiat (cara) pekerjaan Allah.
Allah swt., tidak dapat diserupai dengan sesuatu apapun. Karena itu, tidak pada tempatnya bagi persepsi manusiawi untuk mengarang gambaran tentang Dzat Allah swt. Semua penggambaran manusia, sesungguhnya terbentuk dalam batasan yang mengelilinginya sebagai buah pemikiran akal manusia dari apa yang ada di sekitarnya.
Bila Allah swt. tidak dapat diserupai dengan sesuatu apapun, berarti penggambaran manusiawi itu mutlak terhenti untuk memberi gambaran spesifik bagi Dzat Allah swt. Dan hal ini praktis meliputi seluruh gambaran kaifiat pekerjaan Allah, sehingga tidak tertinggal satu celah pun di hadapan manusia kecuali dengan mantadabburkan ayat-ayat Allah yang ada di alam wujud.
Hanya inilah celahnya. Dan bila terdapat pertanyaan, "Bagaimana Allah menciptakan langit dan bumi? Bagaimana Allah istiwa di atas Arasy? Bagaimana Arasy tempat istiwa'nya Allah?
Bentuk-bentuk pertanyaan seperti ini merupakan perbuatan sia-sia yang bertentangan dengan kaidah aqidah Islamiyah. Ungkapan ini disebutkan oleh Sayyid Quthb dalam menjalaskan tafsir surat al-A'raf ayat 54.
Adapun tentang tafsir beliau dalam surat as-Sajdah ayat 4, al-Furqan ayat 59, Thaha ayat 5, ar-Ra'd ayat 2, Yunus ayat 3, al-Hadiid ayat 4, adalah kelompok tafsir yang mewakili penulisan Sayyid Quthb sebelum beliau menyadari dan memahami masalah.
Sayyid Quthb telah mengevaluasi kembali pandangannya yang telah beliau tulis dalam Dzilal. Beliau merevisi kitabnya, menambahkan, dan menghapus sebagian isinya. Akan tetapi ajal terburu menjemputnya dan menjadikan upaya beliau terhenti hingga juz 14.
Demikianlah yang dikisahkan dari mereka yang memiliki hubungan dekat dengan Sayyid Quthb.
Hasil evaluasi tersebut dijelaskan dalam tafsirnya terhadap ayat-ayat surat al-A’raf. Dalam penafsiran surat al-A’raf Sayyid Quthb telah kembali kepada pemikiran yang benar, setelah beliau menyadari kekeliruannya.
Yang jelas, sikap Sayyid Quthb yang mau mengevaluasi kembali hasil tulisannya, adalah sikap mental yang istimewa yang jarang didapati di kalangan pemikir lainnya.